Kamis, 04 Desember 2008

Mendalami Sastra


1. Sastra

MANTRA

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mantra terdapat di dalam kesusastraan di seluruh Indonesia. Mantra berhubungan dengan sikap religius manusia. Untuk memohon sesuatu dari Tuhan diperlukan kata-kata pilihan yang berkekuatan gaib dan dipandang mempermudah kontak dengan Tuhan. Dengan cara demikian, apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap mantra itu dapat dipenuhi oleh Tuhan.

Mantra tidak dapat diucapkan oleh sembarang orang, hal ini karena sifat sakralnya. Hanya pawang yang berhak dan dianggap pantas mengucapkan mantra itu. Pengucapannya pun harus disertai dengan upacara ritual, misalnya asap dupa, duduk bersila, gerak tangan, ekspresi wajah, dan sebagainya. Hanya dengan dan di dalam suasana seperti itulah mantra tersebut berkekuatan gaib. Ada pula mantra yang harus diucapkan dengan berbisik-bisik. Pawang jualah yang mengerti bagaimana mendatangkan kekuatan gaib melalui mantra. Oleh karena itu, sebuah mantra mempunyai kekuatan bukan hanya dari struktur kata-katanya, namun terlebih dari struktur batinnya.

1.2 Rumusan Masalah

  1. Apakah pengertian mantra?
  2. Bagaimanakah sejarah mantra?
  3. Apakah ciri-ciri mantra?
  4. Apa saja yang termasuk istilah mantra?
  5. Apakah syarat-syarat mantra?
  6. Apakah jenis-jenis mantra?
  7. Bagaimanakah isi mantra?
  8. Bagaimanakah penerapan pengajaran sastra?

Tujuan

  1. Mengetahui pengertian mantra.
  2. Mengetahui sejarah mantra.
  3. Mengetahui ciri-ciri mantra.
  4. Mengetahui beberapa istilah mantra.
  5. Mengetahui syarat-syarat mantra.
  6. Mengetahui jenis-jenis mantra.
  7. Mengetahui isi mantra.
  8. Mengetahui penerapan pengajaran sastra.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Mantra

Mantra berasal dari bahasa Sansekerta yaitu man berarti pikiran, dan tra berarti pembebasan. Secara harfiah mantra berarti kegiatan membebaskan pikiran. Istilah mantera berarti bunyi, kata, frasa atau kalimat yang digumamkan, dibisikkan, diucapkan, atau dinyanyikan dengan cara berulang-ulang, diyakini mempunyai kekuatan sebagai sarana komunikasi dengan Sang Maha dan bermanfaat untuk beragam tujuan pelafalannya.

Dalam Kamus Istilah Sastra (2006: 153) disebutkan bahwa mantra ialah perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib (misalnya dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya). Mantra biasanya diucapkan oleh seorang dukun atau pawang untuk melawan atau menandingi kekuatan gaib lainnya. Mantra juga dapat diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib (KBBI, 2001: 713). Namun hakikat mantra itu sendiri adalah doa yang diucapkan oleh seorang pawang dalam keadaan ’kerasukan’. Di dalam mantra yang penting bukan makna kata demi kata, melainkan kekuatan bunyi yang bersifat sugestif.

Menurut Harun Mat Piah dalam Elmustian (2001: 478), mantera sebagai bentuk puisi pernah dianggap sebagai genre yang paling awal dalam kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat. Mantera merupakan ucapan sakti yang biasanya diucapkan dukun atau bomo. Bahasa mantera tidak mudah dipahami, bahkan kadang-kadang tidak punya arti. Pada masyarakat Melayu terdapat bukti-bukti bahwa mantera adalah warisan dari kehidupan primitif, yang dikenakan, ditambah atau dikembangkan, dan bahkan diamalkan hingga saat ini.

Karakteristik mantra memang sangat unik. Karena keunikannya itulah kita tidak dapat membandingkan bentuknya dengan puisi yang telah kita singgung sebelumnya, baik dengan pantn maupun syair. Terlebih-lebih, mantra hanya dapat dilontarkan oleh orang yang dianggap telah memiliki syarat-syarat tertentu.

Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa mantra ialah rangkaian kata yang mengandung rima dan irama yang dianggap mengandung kekuatan gaib dan biasanya diucapkan oleh seorang dukun atau pawang untuk melawan atau menandingi kekuatan gaib lainnya.

2.2 Sejarah Mantra

Mantra lahir pada masa animisme, kemudian berkembang di kalangan agama hindu dan budha. Abdul Kadir Ibrahim mengolaborasikan mantra sebagai sebuah tradisi melayu Riau. Dia adalah perubah dari kebudayaan melayu Riau dalam konteks sastra Indonesia modern. Dia menawarkan perubahan kebudayaan Melayu dengan menafsir ulang mantra sebagai tradisi melayu dalam puisi-puisinya (sebagaimana dilakukan oleh Sutardji Coulzoum Bachri dan Ibrahim Sattah). Maka dia patut ditempatkan dalam sejarah dan peta kebudayaan melayu Riau sebagai akar kebudayaan yang telah melahirkannnya disatu sisi, ditempatkan pula dalam peta sastra Indonesia modern sebagai “rumah baru “kebudayaannya disisi lain.

Mantra bukanlah tradisi melayu, mantra terdapat juga dalam kebudayaan-kebudayaan lain, misalnya Sunda, Jawa, dan Madura. Meskipun mungkin intensitasnya berbeda-berbeda. Sehubungan dengan sastra Indonesia modern, mantra dalam kebudayaan melayu seakan-akan memiliki kedudukan khusus, menonjol, dan amat penting. Padahal, membaca khasanah kebudayaan melayu yang sangat kaya dengan capaiannnya yang begitu cemerlang terutama di bidang sastra dan pemikiran pada abad-abad silam, mantra hanyalah tradisi kecil. Dalam kebudayaan melayu, mantra bukan “tradisi besar”.

2.3 Ciri-ciri Mantra

Menurut Umar Junus (1985: 135), ciri-ciri mantra adalah sebagai berikut:

  1. di dalam mantra terdapat rayuan dan perintah
  2. mantra mementingkan keindahan bunyi atau permainan bunyi
  3. mantra menggunakan kesatuan pengucapan
  4. mantra merupakan sesuatu yang utuh, yang tidak dapat dipahami melalui bagian-bagiannya
  5. mantra sesuatu yang tidak dipahami manusia karena merupakan sesuatu yang serius
  6. dalam mantra terdapat kecenderungan esoteris (khusus) dari kata-katanya.

Menurut Atar Semi (1984: 132)

a. adanya irama

b. adanya perulangan

c. alat untuk mencapai emosional dan efek magic.

Sedangkan menurut Herman J. Waluyo (1995: 8), ciri-ciri mantra adalah sebagai berikut:

  1. Pilihan kata sangat seksama
  2. Bunyi-bunyi diusahaka berulang-ulang dengan maksud memperkuat daya sugesti kata
  3. banyak dipergunakan kata-kata yang kurang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan maksud memperkuat daya sugesti kata
  4. jika dibaca keras, mantra menimbulkan efek bunyi bersifat magis.

2.4 Istilah-istilah mantra

Dalam kehidupan khasanah Melayu, mantera mempunyai istilah yang beragam. Keragaman itu ditunjukkan oleh adanya berbagai istilah nama mantera. Menurut Raja Ali Haji dalam Elmustian (2001: 83), Istilah mantera tersebut yakni (a) mantera, (b) serapah, (c) jampi, (d) tawar, (e) tangkal, (f) cuca, dan (g) oja.

a. Mantra

Mantera merupakan bacaan berdaya magic yang digunakan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Melayu tradisional. Arti mantera sebagaimana dicantumkan dalam kamus Dewan Edisi Ketiga ( Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998: 859) ialah kata-kata atau ayat yang apabila diucapkan dapat menimbulkan kuasa gaib.

b. Serapah

Serapah digunakan untuk mengadakan komunikasi dengan makhluk halus seperti jin, setan, iblis, dan jamblang. Berkomunikasi dalam pengertian ini ialah membujuk, memanggil, atau menghalau.

c. Jampi

Jampi ialah sesuatu yang dibacakan oleh seseorang kepada orang lain atau seseorang menghembuskannya, tangkal dari jauh, supaya ruh-ruh halus yang masuk dalam jiwa seseorang keluar dan hilang, atau mungkin saja orang yang dimaksud menjadi birahi, dan lain-lain. Pembacaan tersebut dapat langsung kepada seseorang yang dijampi.

d. Tawar

Tawar digunakan untuk mengobati penyakit. Perbedaan tawar dengan jampi ialah bila jampi digunakan untuk maksud tertentu kepada seseorang, benda atau makhluk halus lainnya, sedangkan tawar digunakan untuk menyembuhkan seseorang dari penyakit yang disebabkan oleh sesuatu yang berbisa (racun), misalnya terkena gigitan binatang berbisa.

e. Tangkal

Tangkal merupakan alat untuk mengantisipasi atau penangkis perbuatan jahat dari makhluk lain, baik makhluk halus maupun manusia dan binatang. Mantra dikatakan sebagai tangkal apabila ditulis atau dibacakan pada suatu alat atau benda, kemudian benda itu diikatkan keanggota tubuh. Namun, bila mantera tersebut hanya dibaca begitu saja maka bacaan kalimat mantera tersebut dinamakan penangkal. Ada pula jenis tangkal yang dinamakan wapak yang menggunakan bahasa Arab yang mungkin saja diambil dari ayat Al-Quran.

f. Cuca

Cuca adalah semacam ilmu sihir atau tenung. Dengan cara ini seseorang dapat dibuat menjadi takut, tunduk, patuh, dan sebagainya. Dengan kata lain, cuca merupakan bacaan yang dipergubahkan untuk tujuan menganiaya atau merusak orang lain.

g. Oja

Oja merupakan kalimat yang diucapkan biasanya oleh orang yang melakukan pekerjaan menyabung ayam. Oja diucapkan secara berbalas-balasan, tujuannya untuk menyeru tuah ayam yang disabung itu.

2.5 Syarat-syarat mantera

Menurut Hasan Junus dalam Elmustian (1981: 215), suatu sastra baru dapat disebut mantera apabila memiliki dua syarat sebagai berikut:

    1. Mantera mempunyai kekuatan magic yang diperoleh dari persamaan bahasa, yang biasanya melalui perulangan bunyi, kata dan struktur, yang berjalan bersamaan;

b. Karena mantera pada dasarnya mengandung dua hal yang bertentangan,

rayuan dan perintah, maka kedua unsur tersebut harus tercermin di

dalamnya. Permintaan yang merayu-rayu biasanya dicapai dengan

pemborosan pengucapan bahasa yang diperoleh melalui berbagai

perulangan.

Contoh Mantra

Mantra mengusir anjing galak

Pulanglah engkau kepada rimba sekampung,

Pulanglah engkau kepada rimba yang besar,

Pulanglah engkau kepada gunung guntung,

Pulanglah engkau kepada sungai yang tiada berhulu,

Pulanglah engkau kepada kolam yang tiada berorang,

Pulanglah engkau kepada mata air yang tiadakering,

Jikalau kau tiada mau kembali, matilah engkau.

Apabila kita perhatikan bentuk mantra tersebut nyatalah bahwa mantra tidak lebih sebuah puisi biasa. Sangat mungkin perbedannya hanya terletak pada situasi perasaan pada saat mengucapkannya. Dengan situasi rasa tertentu sangat mungkin mantra memang mempunyai efek yang kuat. Tidak hanya efek rasa yang sugestif akan tetapi efek yang lebih dari sekedar rasa.

Kita memahami dan belajar membuat mantra bukan karena kemanjuran dan daya gaibnya sebab anggapan seperti itu terdapat dalam keyakinan dan kepercayaan nenek moyang kita dahulu. Kita kini mempelajarinya sebagai kegiatan kreatif dalam penulisan puisi. Terlebih-lebih puisi modern yang akan kita bicarakan nanti masih memanfaatkan puisi lama, khususnya pantun dan mantra, sebagai alat ucap puitiknya.

Mantra sebagai puisi diartikan sebagai pengucapan dalam bentuk puisi yang mengandung tujuan dan kondisi magis, pengobatan dan perbomohan, merangkumi istilah-istilah lain yang artinya hampir sama seperti jampi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru, tangkal, dan lain-lain.

2.6 Jenis-jenis Mantra

A. Jenis-jenis mantra dipandang dari tujuan permohonan

a. Do’a permohonan kepada Tuhan

b. Mantra yang berupa kalimat untuk menghadirkan atau meminta bantuan kepada arwah leluhur atau jin. Mantra jenis kedua ini tidak digunakan karena haram menurut hukum semua agama.

B. Jenis-jenis mantra berdasarkan tujuan pelafalannya

a. Mantra untuk pengobatan

b. Mantra untuk pakaian atau pelindung diri

c. Mantra untuk pekerjaan

d. Mantra untuk adat istiadat

2.7 Isi Mantra

Mengenai isi mantra ditegaskan oleh Semi (1988:57), “Objek seni sastra adalah pengalaman hidup manusia terutama menyangkut sosial, kesenian dan sistem berpikir”. Menurut Abdulrani, dkk (1999:12) menyebutkan berdasarkan isinya karya sastra dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

a. Epik, yaitu suatu karya yang isinya dilukiskan oleh pengarangnya tanpa melihat hal baik atau buruk, serta tanpa mempertimbangkan perasaan pembacanya. Dengan kata lain, peristiwa atau kejadian yang dilihat pengarang yang terjadi pada masyarakat dituangkan apa adanya tanpa memperhitungkan akibat baik dan buruknya diri pembaca atau penikmatnya.

b. Lirik, yaitu suatu karya sastra dimana pengarangnya lebih mengutamakan unsur-unsur subjektivitas dengan memperindah kata atau bahasa.

c. Didaktis, yaitu suatu karya sastra yang isinya bertujuan untuk mendidik pembaca atau penikmatnya. Isinya dapat berupa masalah moral, tata krama dan masalah agama.

d. Dramatis, yaitu suatu karya sastra yang isinya dilukiskan dengan menggebu-gebu, baik dalam hal yang menyedihkan atau menggembirakan.

2.8 Penerapan Pengajaran Sastra

Menurut Rahmanto (1989: 16) sastra dapat membantu pendidikan apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu:

  1. Membantu keterampilan berbahasa
  2. Meningkatkan pengetahuan budaya
  3. Mengembangkan cipta dan rasa
  4. menunjang pembentukan watak

a. pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaanyang lebih tajam untuk memaknai kehidupan.

b. Pengajaran sastra hendaknya mampu membantu mengembangkan kualitas kepribadian.


Tidak ada komentar: